Minggu, 04 Maret 2018

Dialog tentang Senja



“Aku benci senja.”

“Kenapa?”

Aku terdiam. Tenggorokanku mendadak kering sehingga memaksaku menelan ludah dengan kasar.

“Ada yang salah dengan senja? Mengapa sebegitu bencinya?”

“Senja merenggut mereka yang kusayangi.”

Pria di depanku menatap tanpa berkedip, “Wow.”

“Apa yang wow?”

“Aku hanya takjub saja. Bagaimana bisa keindahan senja mampu merenggut mereka yang kau sayangi?”

“Entah. Selalu saja bertepatan saat senja tiba,” jawabku sekenanya. “Mungkin senja mengutukku.”

“Kalo begitu izinkan aku membuat senja tak lagi mengutukmu. Sehingga kau berhenti membencinya.”

“Memangnya kau siapa? Pengendali langit?” tanyaku tertawa.

“Bukan. Tentu saja aku tak bisa mengendalikan langit sehingga senja ditiadakan.”

“Lalu?”

“Akan kubuat kau menyukainya.”

“Caranya?”

“Akan kubawakan senja padamu setiap hari. Dengan cara yang berbeda.”jawab pria itu mantap.

Kupikir dia hanya merayu. Namun ketika kutatap matanya lekat ada kesungguhan di dalamnya.

“Kau gila!”

Dia terkekeh. “Nyatanya aku memang sudah gila sesaat setelah aku bertemu denganmu.”

Degup jantungku berhenti sesaat.

Aku tercekat.

Read On >>>

Senin, 17 Oktober 2016

Keikhlasan Bapak Tambal Ban

Beberapa minggu lalu, tepatnya pada hari Senin yang terik, saya memaksakan diri menuju pagar meninggalkan rumah demi berangkat kuliah. Sebenarnya ada rasa tidak ikhlas dan berat melangkahkan kaki meninggalkan kasur tercinta. Bayangkan saja, di bawah sinar matahari yang begitu terik selama satu jam dan disuguhi dengan padatnya kendaraan di jalanan hanya untuk kuliah satu mata kuliah pengganti yang seharusnya dijadwalkan pada hari Rabu. Namun, karena dosen memiliki kesibukan yang begitu luar biasa, akhirnya sebagai mahasiswa saya harus terpaksa rela dikorbankan.Selama perjalanan saya tetap berusaha mengumpulkan niat pergi kuliah agar rasa malas menghilang terganti dengan keikhlasan. Eh, saat keikhlasan sudah muncul mendadak motor oleng. Jantung berdetak kencang, perasaan berubah menjadi tak enak, dan keringat mengucur deras. Benar saja. Ban belakang motor saya bocor. TIDAAAKKKK !!!
Hebatnya, lokasi bocornya ban begitu strategis. Ya, strategis. Sama sekali tidak ada tukang tambal ban di sekitar.
Kalut .. Marah .. Rasanya pengen mewek aja di tengah jalan ..
Tapi untungnya gengsi masih memegang kendali diri saya.
Terpaksa harus menuntun sepeda motor VARIO BIRU yang ternyata baru saya sadari begitu berat, mengalahkan berat badan saya. Uhukkk ... Yah, setidaknya terhibur ada yang lebih berat dari saya. :'D
Lima belas menit berjalan sambil "menggandeng" si Vario, masih belum terlihat tanda-tanda tukang tambal ban. Tiba-tiba sebuah suara lembut keibuan di kiri jalan berteriak, "Mbak, ini ada tukang tambal ban!"
Alhamdulillahhh ...
Ingin kupeluk saja Ibu penjaga warung yang memanggil saya.
Dengan tenaga yang masih tersisa dan nafas terengah-engah, saya belokkan motor ke kiri jalan. Disitu saya melihat seorang bapak paruh bahaya sedang duduk di atas tanah - tanpa alas apapun - tengah sibuk mengotak-atik sepeda anak-anak.
"Bentar ya, Mbak. Saya ngurusi ini dulu."ucap bapak tersebut. Saya hanya mengangguk.
Tiba-tiba .. BRUKKKK ..
Sepeda dibanting oleh bapak tersebut. Seketika pikiran negatif bermunculan.
"Bapaknya kok ngamuk?"
"Bapaknya kok jahat?"
"Bapaknya keinget utang?"
"Bapaknya marah?"
"Ntar motorku yang dibanting gimana?"
Dan puluhan pikiran negatif silih berganti memenuhi isi kepala.
Beberapa menit kemudian, sepeda tersebut telah selesai diperbaiki dan diletakkan di dalam toko.
"Kenapa Mbak motornya?"tanya bapak tersebut.
"Ini, Pak. Ban belakangnya bocor, Pak. Kayaknya kena paku."jawabku.
"Mbak bisa jagang dua?"tanya bapak tersebut.
"Loh kok jadi aku yang ditanya?"tanyaku dalam hati. "Ng, ndak bisa, Pak."
"Waduh, saya juga nggak bisa jagang dua, Mbak. Terus ini gimana?"ujarnya.
"Ini gimana? Tukang tambal ban nggak bisa jagang dua. Serius?"
Ketika saya sibuk ngedumel dalam hati, Bapak tersebut berusaha bangkit sambil membawa tongkat.
Astaghfirullah ..
Kaki beliau hanya berfungsi satu.
Sepertinya saat itu syaitan sedang menertawakan saya yang berhasil mempengaruhi kepala saya dengan pikiran negatif terhadap Bapak Tambal Ban.
Beberapa detik kemudian, muncullah Ibu yang tadi memanggil saya.
"Sini saya bantu, Mbak."ucapnya.
Saya tersenyum lega.

Selama proses eksekusi motor, Bapak tersebut mengajak saya ngobrol banyak hal. Apalagi setelah tahu bahwa saya berkuliah di universitas tempat tetangga beliau mengajar. Awalnya beliau bertanya dimana saya tinggal. Kemudian obrolan berubah menjadi sangat serius dan menyentuh ketika saya bertanya perihal dimana beliau tinggal.
"Saya tinggal di Tulangan, Mbak. Ini di belakang toko ya rumah saya tapi saya kontrak-kan ke orang lain. Usaha begini paling hanya cukup untuk makan sehari-hari. Anak-anak ya butuh sekolah. Tapi, begini pun alhamdulillah. Pokoknya halal dan cukup buat makan sehari-hari."
Adem rasanya mendengar beliau mengatakan hal tersebut. Di balik wajahnya yang sangar, tersimpan hati yang begitu lembut dan mulia. Beliau yang secara kasat mata terlihat kekurangan, justru yang paling kaya. Hati yang selalu bersyukur adalah hati yang selalu tercukupi, meski secara finansial beliau terlihat yang paling kekurangan.
Setelah beliau bercerita, beliau menanyakan perihal karir yang ingin saya capai usai kuliah. Tentu saja dengan senang hati saya menjawab, "Guru, Pak. In syaa Allah."
Beliau seketika berpesan, "Aamiin. Semoga segera lulus serta jadi teladan dan panutan bagi murid-muridnya. Banyak jaman sekarang labelnya guru tapi ndak bisa dikatakan sebagai guru. Kadang mengajar hanya sebagai pekerjaan semata demi mengejar materi. Padahal ada hal yang lebih dari sekedar itu. Iya toh, Mbak?"
Saya mengangguk mengiyakan sekaligus mengamini do'a beliau. Lelah menuntun sepeda berpuluh menit tadi, sekarang menguap menjadi sebuah motivasi di dalam diri.
Eksekusi ban motor cukup memakan waktu lama. Tanpa sadar sudah hampir setengah jam saya duduk di samping beliau yang tengah sibuk mengeksekusi motor saya.
"Tolong Mbak ban luarnya diganti. Ini sudah tua. Waktunya ganti baru. Kalo ndak diganti, bakal bolak balik bocor nantinya. Monggo, ini sudah selesai."ucapnya.
Saya bangkit dan menanyakan biaya tambal bannya. Setelah beliau menyebutkan nominalnya, saya menyerahkan dua kali lipat dari biaya aslinya. Saya ucapkan terima kasih atas waktu dan bentuk motivasi hidup yang telah diberikan. Saya ucapkan bahwa uang ini saya berikan sebagai bentuk terima kasih serta permintaan maaf karena telah berburuk sangka sebelumnya. Beliau mengucapkan terima kasih dan selamat belajar kepada saya. Untuk kesekian kalinya hati ini terenyuh.
Saya lanjutkan perjalanan menuju rumah, sebab saya sudah terlambat hampir satu jam lamanya.
Apakah saya marah?
Tidak. Justru saya merasa beruntung.
Beruntung sebab tadinya hati yang tidak ikhlas menuju kampus, justru tertampar dengan keikhlasan seorang tambal ban dalam menafkahi keluarganya. Tentu saja itu adalah sebuah kewajiban beliau. Namun jika saja beliau memilih untuk tidur di rumah, tentu adalah hal yang mungkin mengingat usia beliau tidak lagi muda serta kemampuan tubuh beliau. Tapi kenyataannya, beliau memilih bekerja. Beliau memilih untuk berjuang dibandingkan hanya duduk diam di rumah sambil minum secangkir kopi menunggu hari berganti.
Lalu, jika yang serba kekurangan saja bisa begitu ikhlas menjalankan kewajiban, mengapa diri ini yang diberi kemudahan dengan kesempurnaan fisik masih saja suka mengeluh?
Read On >>>

Senin, 11 Juli 2016

Allah Selalu Punya Cara

ALLAH selalu punya cara.
Dia selalu punya cara tuk mempertemukan, begitu pula memisahkan.
Dia selalu punya cara tuk menjatuhkan, begitu pula menyembuhkan.
Dia selalu punya cara tuk kirimkan tangis, begitu pula kirimkan tawa.

Itulah ALLAH.

Ada saja cara yang ALLAH buat untuk hamba-Nya.

Sebab Dia-lah satu-satunya Sang Sutradara kehidupan. Dia selalu menyusun lembar demi lembar skenario kehidupan untuk dijalani oleh pemerannya yakni manusia.

Manusia hanya bisa menjalani skenario yang telah ditetapkan ketika ruh pertama kali ditiupkan ke dalam raganya. Manusia takkan bisa menolak seperti apa skenario yang telah dibuat oleh Sang Pencipta-nya. Namun, manusia tetap harus bertawakkal dan yakin bahwa apa-apa yang telah dituliskan oleh Sang Pencipta tidak akan pernah berujung petaka. Selalu berujung dengan happy ending, bukan sebaliknya.

Hanya saja, manusia kadang terlalu sombong pada kehidupan. Ia lupa bahwa pemegang penuh kehidupan bukanlah dirinya, namun Sang Maha Pencipta. Berusaha memang tugas manusia, namun penentuan akhirnya ada pada Sang Kuasa.
Tanpa disadari, manusia terlalu asyik menebak bagaimana akhir dari kehidupan mereka, hingga akhirnya berharap terlalu tinggi sambil terus merapalkan do'a sambil tersenyum. Padahal, manusia tengah lupa. Kehidupan tidak dipegang penuh oleh manusia, tapi Sang Kuasa.
Ketika harapan itu terlalu tinggi membumbung di angkasa dan terjun bebas tanpa ampun, manusia baru sadar. Bukan dirinya yang menciptakan akhir cerita dari kehidupan. Sama sekali bukan.
Kalau sudah begini, manusia hanya bisa pasrah.
Manusia hanya bisa melemparkan sajadah lebar-lebar. Meringkuk. Bersujud. Rapuh.

Bukan ALLAH tak sayang pada manusia.
Bukan.

ALLAH hendak sadarkan ketinggian hati manusia dengan rasa sakit.
ALLAH hendak menarik kembali kesahajaan hati seorang hamba agar tetap berada pada batas kesadaran.
Kesadaran akan batas kemampuan manusia pada kehidupan.
Kesadaran akan porsi yang telah ALLAH beri.
Kesadaran bahwa ALLAH selalu ada menyayangi dengan memberi sedikit cubitan pada kehidupan yang telah dijalani.

Inilah hebatnya ALLAH.

Hendak sesombong apapun manusia pada-Nya,
Sejahat apapun manusia pada-Nya,
Sejauh apapun manusia pada-Nya,

DIA selalu punya cara untuk menarik manusia kembali kepada pelukan-Nya.
 Entah dengan menjatuhkan, meremukkan, atau mungkin mengambil orang-orang yang disayangi.

ALLAH.
Dzat yang tak pernah mengecewakan.
Dzat yang selalu membukakan pintu untuk kembali pulang.
Dzat yang tak pernah berhenti menarik kembali hamba-Nya ke jalan yang Dia ridhoi.

Allaahu Akbar ..
 Terima kasih atas segala cubitan-cubitan kecil yang Kau beri.
Aku percaya, inilah cara-Mu menarik kembali diri yang sempat lupa pada batasku sebagai manusia dalam skenario yang sudah Engkau buat untukku.
Terima kasih ..

^^
Read On >>>

Sabtu, 27 Februari 2016

Pertemuan Dengan Seorang Gadis Kecil "Spesial"

Hujan begitu deras mengguyur kota Sidoarjo sore tadi. Demi meeting project yang sempat terhenti karena kesibukan masing-masing, kurelakan menerobos hujan dengan jas hujan yang sudah robek di bagian bawahnya. Alhasil, harus merelakan bagian bawah gamis basah dan berat karena air hujan yang tak bisa berkompromi. Meeting project kali ini terpaksa jatuh di sebuah fast food ternama yang baru beberapa bulan buka di daerah Taman, Sidoarjo. Selain tempatnya yang nyaman untuk meeting, keberadaan fasilitas Wi-Fi yang super ngebut memaksa tim untuk melakukan meeting di tempat ini. Ketika motor sampai di parking area, hujan tak kunjung reda. Terpaksa kaki ini berlari ke arah Musholla restoran yang letaknya tidak jauh dari parking area restoran tersebut.
"Minggir, Dek. Mbak-nya mau lewat, loh."ujar seorang Tukang Parkir yang umurnya setengah baya. Anak kecil tersebut hanya bergerak sedikit ke kiri sambil melihat ke arahku yang sibuk dengan pakaian basah dan jas hujan setengah robek. Kulemparkan senyum ramah untuknya sambil terus menyibukkan diri mengeringkan gamis. Aku tak terlalu memperhatikan gadis itu sebab ada yang lebih mengalihkan perhatianku saat itu. Yang kutahu, gadis itu adalah gadis "spesial".

***

Sudah hampir tiga jam aku dan tim project melakukan meeting. Kami memutuskan beranjak tepat saat adzan Maghrib berkumandang.
"Ayo, Maghrib-an dulu di sini."ucap salah satu teman. Aku dan salah seorang lagi mengiyakan ajakannya.
Hujan masih terus menikmati perjalanannya ke bumi meskipun hanya sekedar rintik gerimis yang tidak terlalu ganas mengguyur. Sekali lagi kulangkahkan kaki ini menuju Musholla yang sama.
DEG ...
Anak itu masih disitu. Tapi kali ini berbeda.
Jika tadi ia masih menabur senyum di wajahnya dan masih sempat menari di bawah hujan, kini ia meringkuk di dinding Musholla. Tubuhnya basah. Tubuhnya yang kurus bergetar. Ia menangis.
"Hu.. huu.. Ayah."
Ia terus menyebut kata Ayah di dalam tangisnya. Ia tak peduli sudah tiga orang tukang parkir menawarkan bantuan untuk mencari Ayah-nya. Mencoba acuh, tapi aku tergugu.
Selesai menunaikan ibadah sholat Maghrib dan teman-teman satu tim pulang ke rumah masing-masing, aku masih terhenti di Musholla itu.
"Kenapa Pak Adek-nya?"tanyaku penasaran.
"Ini loh, Mbak. Anak hilang kayaknya. Dari tadi pagi di sini. Sudah saya mandiin, kasih makan, kasih minum. Tapi sampe malem begini belum ada yang nyariin dia. Saya kasihan."jawab salah satu Bapak Tukang Parkir restoran.
Tukang Parkir yang lain ikut khawatir dengan kondisinya yang sungguh menyayat hati. Mereka tanpa henti menawarkan bantuan untuk gadis "spesial" itu.
"Ayo ikut Bapak. Tak anterin nyariin Ayah-mu, nduk."ucap Bapak Tukang Parkir yang tadi kuajak mengobrol, sebut saja Pak A.
"Bapakmu ndek warkop iku loh. Ayo melu Pak iki (sambil menunjuk Pak A yang berada di atas motor). Ben ndang mulih (Bapakmu di warkop loh. Ayo ikut Pak ini. Biar bisa cepat pulang)."ujar Pak B.
Melihat beberapa orang kelimpungan dan cemas, hati tergerak ingin membantu. Kudekati gadis "spesial" ini. Kuusap bahunya yang kurus. Aku bukan seorang ahli anak-anak "spesial" sehingga agak takut juga ketika mendekatinya. Takut jika perlakuanku salah dan justru membuatnya semakin sedih dan takut.
"Adek, kenapa kok nangis?"tanyaku. Hanya tangisnya yang menjawabku. "Ikut bapaknya, ya. Biar nanti Ayah-nya nggak nyariin."ajakku penuh kesabaran. Gadis itu masih tergugu. Tanganku mengajaknya bangkit, namun ia menolak. Tubuhnya begitu dingin dan basah. Sungguh, siapa yang begitu tega meninggalkan gadis ini sendirian di tengah keramaian.
"Sek, tak cari Ayah-mu dulu."ucap Pak A menaiki motornya kemudian meninggalkan parking area. Aku masih di samping gadis itu. Hanya bisa mengusap kepalanya iba tanpa bisa berkata. Ketika menunduk, mata ini menangkap beberapa tanda berwarna coklat di paha mungilnya. Kudekati dan kuteliti. Oh, tidak! Bekas luka bakar dari rokok!
Siapa yang tega melakukan ini, Dek?
Pikiran buruk mulai menguasai benak. Namun aku masih berusaha menepisnya dan ber-husnudzan semoga itu hanya luka yang lain. Semoga gadis ini nyasar, bukan dibuang.
"Sudah, Mbak. Biar kami saja yang ngurus dia. Sudah malam mbak ini. Nanti hujannya makin deras, Mbak malah ndak bisa pulang."ucap Pak B padaku. Aku mengangguk dengan berat hati.
"Sabar ya, Dek."ucapku lirih sambil perlahan mengusap kepalanya untuk terakhir kali.
Duh, Allah ..
Bukan salah dia menjadi gadis "spesial". Bukan salah dia menjadi seperti ini. Seandainya Kau sempat memberikan pilihan padanya untuk hidup menjadi seperti apa, dia pasti takkan memilih menjadi "spesial". Kurapal do'a seiring langkah kaki meninggalkan gadis yang masih meringkuk menangis dan terus menyebut kata "Ayah" tanpa henti. Kurapal do'a tiada henti, semoga Allah menyadarkan Ayah-mu agar segera mencarimu, menghangatkanmu, dan menggendongmu pulang, Dek.
Aamiin..
Read On >>>

Kamis, 31 Desember 2015

Jangan Remehkan Seseorang

Assalamu'alaikum, Readers ..
Apa kabar? Semoga selalu dalam lindungan-Nya, ya ^^
Malam ini saya mencoba kembali membuka beberapa teman lama yang ada di akun facebook saya. Maklum saja, koneksi internet baru jadi harus digunakan ^O^)9 Yosshh!!
Ketika asyik menelusuri beberapa teman lama saya, pencarian saya terhenti pada sebuah akun milik seorang teman perempuan yang saya kenal sewaktu saya duduk di bangku sekolah menengah pertama, sebut saja A. Saya coba stalking akunnya, lalu saya tercengang.
Maa syaa Allah ..
Saya menemukan banyak sekali foto-foto si A ketika ia berpartisipasi dalam kompetisi di beberapa kompetisi Hijab Modelling. Saya ikut senang atas kesuksesannya. Si A kini juga jauh berbeda dengan dirinya yang dulu saat masih berada di bangku sekolah, meskipun dari awal dia sudah begitu mencintai panggung. Sejenak pikiran saya melayang jauh pada beberapa tahun yang lalu ketika kami masih sama-sama duduk di bangku SMP. Masih teringat jelas bagaimana sikap beberapa teman yang sedikit "berbeda" kepada teman saya ini. Tak jarang, saya mendengar kata-kata yang kurang mengenakkan dan bersifat meremehkannya. 
"Ah, dia sih cuma modal beruntung aja."
"Dia kan kesayangannya guru ini. Makanya dia bisa jadi gitu. Sebenernya juga nggak bisa apa-apa."
Dan, segelintir ucapan-ucapan meremehkan lainnya meluncur memekakkan telinga saya. Makian semakin keras diucapkan ketika salah satu teman kami yang waktu itu sudah cukup sukses menjadi model cilik, sebut saja B, mendengar bahwa impian si A adalah menjadi seorang designer dan model. Secara tiba-tiba, Si B tertawa begitu keras tanpa sepengetahuan Si A dan saya mengetahuinya. 
"Emang Si A itu bisa apa sih? Emang dia bisa jadi model?"tanya Si B sambil tertawa mengejek. Saya saat itu sedikit kesal dengan kesombongan B. Tapi apalah dayaku yang hanya seorang anak SMP yang polos dan menggemaskan (eheemm ...).
Pada akhirnya, kini semua ucapan itu berubah menjadi sampah kata-kata yang tak berguna. Sang Maha Pencipta memutar-balikkan kata-kata meremehkan tersebut menjadi sebuah pembuktian. Si A yang tak pernah berhenti diremehkan, kini berubah menjadi seseorang yang tidak bisa diremehkan. Saya sedikit berpikir, bagaimana reaksi teman-teman saya yang dulu sempat meremehkannya. Malukah dengan ucapan mereka? Hm, itupun kalo masih ingat, ya. Hihihi.
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah jangan pernah merendahkan seseorang hanya karena tampilan luarnya tak memungkinkan untuk mewujudkan impiannya. Di luar sana banyak orang-orang yang dulunya pernah diremehkan, justru menjadi lebih dari mereka yang pernah meremehkan. Kita tengok saja Jack Ma, pengusaha pendiri e-commerce Alibaba terbesar di China yang perusahaannya bersaing ketat dengan eBay milik Amerika. Jack Ma merupakan orang yang paling sering diremehkan di negaranya. Tiga kali ia ditolak oleh pihak kampus. Ia pernah melamar di sebuah restoran fast food terkenal dan hanya ia yang ditolak. Tapi Tuhan membalikkan nasibnya. Siapa yang bisa mengira dia akan menjadi salah satu orang terkaya dan berpengaruh di China.

Allah berfirman dalam Al-Qur'an :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat: 11)
 
Jangan karena sudah merasa paling hebat kemudian yang terlihat tidak selevel atau berbeda denganmu adalah orang rendahan. Padahal belum tentu orang yang selama ini kita remehkan adalah orang yang lebih rendah dari kita. Bisa jadi justru dia-lah yang lebih tinggi derajatnya di mata Allah daripada kita. Astaghfirullah ..
 
Jika sudah merasa "lebih baik" dari orang lain, maka akan lebih mulia jika kita memberi sedikit bantuan kepada mereka. Saling membantu dalam berubah menjadi lebih dari sebelumnya sungguh lebih mulia daripada meremehkan orang lain. Alih-alih berpahala, kehilangan teman iya, dijauhi iya, berdosa iya. Naudzubillaah ..
Teruntuk kalian yang sudah merasa "lebih" dari yang lain, yuk mulai sekarang merubah diri dari yang terkadang tanpa sengaja suka meremehkan menjadi pribadi yang suka membagi kebaikan. Aamiin ^^

Read On >>>
 
Header Background Designed by Freepik