Sabtu, 27 Februari 2016

Pertemuan Dengan Seorang Gadis Kecil "Spesial"

Hujan begitu deras mengguyur kota Sidoarjo sore tadi. Demi meeting project yang sempat terhenti karena kesibukan masing-masing, kurelakan menerobos hujan dengan jas hujan yang sudah robek di bagian bawahnya. Alhasil, harus merelakan bagian bawah gamis basah dan berat karena air hujan yang tak bisa berkompromi. Meeting project kali ini terpaksa jatuh di sebuah fast food ternama yang baru beberapa bulan buka di daerah Taman, Sidoarjo. Selain tempatnya yang nyaman untuk meeting, keberadaan fasilitas Wi-Fi yang super ngebut memaksa tim untuk melakukan meeting di tempat ini. Ketika motor sampai di parking area, hujan tak kunjung reda. Terpaksa kaki ini berlari ke arah Musholla restoran yang letaknya tidak jauh dari parking area restoran tersebut.
"Minggir, Dek. Mbak-nya mau lewat, loh."ujar seorang Tukang Parkir yang umurnya setengah baya. Anak kecil tersebut hanya bergerak sedikit ke kiri sambil melihat ke arahku yang sibuk dengan pakaian basah dan jas hujan setengah robek. Kulemparkan senyum ramah untuknya sambil terus menyibukkan diri mengeringkan gamis. Aku tak terlalu memperhatikan gadis itu sebab ada yang lebih mengalihkan perhatianku saat itu. Yang kutahu, gadis itu adalah gadis "spesial".

***

Sudah hampir tiga jam aku dan tim project melakukan meeting. Kami memutuskan beranjak tepat saat adzan Maghrib berkumandang.
"Ayo, Maghrib-an dulu di sini."ucap salah satu teman. Aku dan salah seorang lagi mengiyakan ajakannya.
Hujan masih terus menikmati perjalanannya ke bumi meskipun hanya sekedar rintik gerimis yang tidak terlalu ganas mengguyur. Sekali lagi kulangkahkan kaki ini menuju Musholla yang sama.
DEG ...
Anak itu masih disitu. Tapi kali ini berbeda.
Jika tadi ia masih menabur senyum di wajahnya dan masih sempat menari di bawah hujan, kini ia meringkuk di dinding Musholla. Tubuhnya basah. Tubuhnya yang kurus bergetar. Ia menangis.
"Hu.. huu.. Ayah."
Ia terus menyebut kata Ayah di dalam tangisnya. Ia tak peduli sudah tiga orang tukang parkir menawarkan bantuan untuk mencari Ayah-nya. Mencoba acuh, tapi aku tergugu.
Selesai menunaikan ibadah sholat Maghrib dan teman-teman satu tim pulang ke rumah masing-masing, aku masih terhenti di Musholla itu.
"Kenapa Pak Adek-nya?"tanyaku penasaran.
"Ini loh, Mbak. Anak hilang kayaknya. Dari tadi pagi di sini. Sudah saya mandiin, kasih makan, kasih minum. Tapi sampe malem begini belum ada yang nyariin dia. Saya kasihan."jawab salah satu Bapak Tukang Parkir restoran.
Tukang Parkir yang lain ikut khawatir dengan kondisinya yang sungguh menyayat hati. Mereka tanpa henti menawarkan bantuan untuk gadis "spesial" itu.
"Ayo ikut Bapak. Tak anterin nyariin Ayah-mu, nduk."ucap Bapak Tukang Parkir yang tadi kuajak mengobrol, sebut saja Pak A.
"Bapakmu ndek warkop iku loh. Ayo melu Pak iki (sambil menunjuk Pak A yang berada di atas motor). Ben ndang mulih (Bapakmu di warkop loh. Ayo ikut Pak ini. Biar bisa cepat pulang)."ujar Pak B.
Melihat beberapa orang kelimpungan dan cemas, hati tergerak ingin membantu. Kudekati gadis "spesial" ini. Kuusap bahunya yang kurus. Aku bukan seorang ahli anak-anak "spesial" sehingga agak takut juga ketika mendekatinya. Takut jika perlakuanku salah dan justru membuatnya semakin sedih dan takut.
"Adek, kenapa kok nangis?"tanyaku. Hanya tangisnya yang menjawabku. "Ikut bapaknya, ya. Biar nanti Ayah-nya nggak nyariin."ajakku penuh kesabaran. Gadis itu masih tergugu. Tanganku mengajaknya bangkit, namun ia menolak. Tubuhnya begitu dingin dan basah. Sungguh, siapa yang begitu tega meninggalkan gadis ini sendirian di tengah keramaian.
"Sek, tak cari Ayah-mu dulu."ucap Pak A menaiki motornya kemudian meninggalkan parking area. Aku masih di samping gadis itu. Hanya bisa mengusap kepalanya iba tanpa bisa berkata. Ketika menunduk, mata ini menangkap beberapa tanda berwarna coklat di paha mungilnya. Kudekati dan kuteliti. Oh, tidak! Bekas luka bakar dari rokok!
Siapa yang tega melakukan ini, Dek?
Pikiran buruk mulai menguasai benak. Namun aku masih berusaha menepisnya dan ber-husnudzan semoga itu hanya luka yang lain. Semoga gadis ini nyasar, bukan dibuang.
"Sudah, Mbak. Biar kami saja yang ngurus dia. Sudah malam mbak ini. Nanti hujannya makin deras, Mbak malah ndak bisa pulang."ucap Pak B padaku. Aku mengangguk dengan berat hati.
"Sabar ya, Dek."ucapku lirih sambil perlahan mengusap kepalanya untuk terakhir kali.
Duh, Allah ..
Bukan salah dia menjadi gadis "spesial". Bukan salah dia menjadi seperti ini. Seandainya Kau sempat memberikan pilihan padanya untuk hidup menjadi seperti apa, dia pasti takkan memilih menjadi "spesial". Kurapal do'a seiring langkah kaki meninggalkan gadis yang masih meringkuk menangis dan terus menyebut kata "Ayah" tanpa henti. Kurapal do'a tiada henti, semoga Allah menyadarkan Ayah-mu agar segera mencarimu, menghangatkanmu, dan menggendongmu pulang, Dek.
Aamiin..

Tidak ada komentar :

 
Header Background Designed by Freepik