Senin, 17 Oktober 2016

Keikhlasan Bapak Tambal Ban

Beberapa minggu lalu, tepatnya pada hari Senin yang terik, saya memaksakan diri menuju pagar meninggalkan rumah demi berangkat kuliah. Sebenarnya ada rasa tidak ikhlas dan berat melangkahkan kaki meninggalkan kasur tercinta. Bayangkan saja, di bawah sinar matahari yang begitu terik selama satu jam dan disuguhi dengan padatnya kendaraan di jalanan hanya untuk kuliah satu mata kuliah pengganti yang seharusnya dijadwalkan pada hari Rabu. Namun, karena dosen memiliki kesibukan yang begitu luar biasa, akhirnya sebagai mahasiswa saya harus terpaksa rela dikorbankan.Selama perjalanan saya tetap berusaha mengumpulkan niat pergi kuliah agar rasa malas menghilang terganti dengan keikhlasan. Eh, saat keikhlasan sudah muncul mendadak motor oleng. Jantung berdetak kencang, perasaan berubah menjadi tak enak, dan keringat mengucur deras. Benar saja. Ban belakang motor saya bocor. TIDAAAKKKK !!!
Hebatnya, lokasi bocornya ban begitu strategis. Ya, strategis. Sama sekali tidak ada tukang tambal ban di sekitar.
Kalut .. Marah .. Rasanya pengen mewek aja di tengah jalan ..
Tapi untungnya gengsi masih memegang kendali diri saya.
Terpaksa harus menuntun sepeda motor VARIO BIRU yang ternyata baru saya sadari begitu berat, mengalahkan berat badan saya. Uhukkk ... Yah, setidaknya terhibur ada yang lebih berat dari saya. :'D
Lima belas menit berjalan sambil "menggandeng" si Vario, masih belum terlihat tanda-tanda tukang tambal ban. Tiba-tiba sebuah suara lembut keibuan di kiri jalan berteriak, "Mbak, ini ada tukang tambal ban!"
Alhamdulillahhh ...
Ingin kupeluk saja Ibu penjaga warung yang memanggil saya.
Dengan tenaga yang masih tersisa dan nafas terengah-engah, saya belokkan motor ke kiri jalan. Disitu saya melihat seorang bapak paruh bahaya sedang duduk di atas tanah - tanpa alas apapun - tengah sibuk mengotak-atik sepeda anak-anak.
"Bentar ya, Mbak. Saya ngurusi ini dulu."ucap bapak tersebut. Saya hanya mengangguk.
Tiba-tiba .. BRUKKKK ..
Sepeda dibanting oleh bapak tersebut. Seketika pikiran negatif bermunculan.
"Bapaknya kok ngamuk?"
"Bapaknya kok jahat?"
"Bapaknya keinget utang?"
"Bapaknya marah?"
"Ntar motorku yang dibanting gimana?"
Dan puluhan pikiran negatif silih berganti memenuhi isi kepala.
Beberapa menit kemudian, sepeda tersebut telah selesai diperbaiki dan diletakkan di dalam toko.
"Kenapa Mbak motornya?"tanya bapak tersebut.
"Ini, Pak. Ban belakangnya bocor, Pak. Kayaknya kena paku."jawabku.
"Mbak bisa jagang dua?"tanya bapak tersebut.
"Loh kok jadi aku yang ditanya?"tanyaku dalam hati. "Ng, ndak bisa, Pak."
"Waduh, saya juga nggak bisa jagang dua, Mbak. Terus ini gimana?"ujarnya.
"Ini gimana? Tukang tambal ban nggak bisa jagang dua. Serius?"
Ketika saya sibuk ngedumel dalam hati, Bapak tersebut berusaha bangkit sambil membawa tongkat.
Astaghfirullah ..
Kaki beliau hanya berfungsi satu.
Sepertinya saat itu syaitan sedang menertawakan saya yang berhasil mempengaruhi kepala saya dengan pikiran negatif terhadap Bapak Tambal Ban.
Beberapa detik kemudian, muncullah Ibu yang tadi memanggil saya.
"Sini saya bantu, Mbak."ucapnya.
Saya tersenyum lega.

Selama proses eksekusi motor, Bapak tersebut mengajak saya ngobrol banyak hal. Apalagi setelah tahu bahwa saya berkuliah di universitas tempat tetangga beliau mengajar. Awalnya beliau bertanya dimana saya tinggal. Kemudian obrolan berubah menjadi sangat serius dan menyentuh ketika saya bertanya perihal dimana beliau tinggal.
"Saya tinggal di Tulangan, Mbak. Ini di belakang toko ya rumah saya tapi saya kontrak-kan ke orang lain. Usaha begini paling hanya cukup untuk makan sehari-hari. Anak-anak ya butuh sekolah. Tapi, begini pun alhamdulillah. Pokoknya halal dan cukup buat makan sehari-hari."
Adem rasanya mendengar beliau mengatakan hal tersebut. Di balik wajahnya yang sangar, tersimpan hati yang begitu lembut dan mulia. Beliau yang secara kasat mata terlihat kekurangan, justru yang paling kaya. Hati yang selalu bersyukur adalah hati yang selalu tercukupi, meski secara finansial beliau terlihat yang paling kekurangan.
Setelah beliau bercerita, beliau menanyakan perihal karir yang ingin saya capai usai kuliah. Tentu saja dengan senang hati saya menjawab, "Guru, Pak. In syaa Allah."
Beliau seketika berpesan, "Aamiin. Semoga segera lulus serta jadi teladan dan panutan bagi murid-muridnya. Banyak jaman sekarang labelnya guru tapi ndak bisa dikatakan sebagai guru. Kadang mengajar hanya sebagai pekerjaan semata demi mengejar materi. Padahal ada hal yang lebih dari sekedar itu. Iya toh, Mbak?"
Saya mengangguk mengiyakan sekaligus mengamini do'a beliau. Lelah menuntun sepeda berpuluh menit tadi, sekarang menguap menjadi sebuah motivasi di dalam diri.
Eksekusi ban motor cukup memakan waktu lama. Tanpa sadar sudah hampir setengah jam saya duduk di samping beliau yang tengah sibuk mengeksekusi motor saya.
"Tolong Mbak ban luarnya diganti. Ini sudah tua. Waktunya ganti baru. Kalo ndak diganti, bakal bolak balik bocor nantinya. Monggo, ini sudah selesai."ucapnya.
Saya bangkit dan menanyakan biaya tambal bannya. Setelah beliau menyebutkan nominalnya, saya menyerahkan dua kali lipat dari biaya aslinya. Saya ucapkan terima kasih atas waktu dan bentuk motivasi hidup yang telah diberikan. Saya ucapkan bahwa uang ini saya berikan sebagai bentuk terima kasih serta permintaan maaf karena telah berburuk sangka sebelumnya. Beliau mengucapkan terima kasih dan selamat belajar kepada saya. Untuk kesekian kalinya hati ini terenyuh.
Saya lanjutkan perjalanan menuju rumah, sebab saya sudah terlambat hampir satu jam lamanya.
Apakah saya marah?
Tidak. Justru saya merasa beruntung.
Beruntung sebab tadinya hati yang tidak ikhlas menuju kampus, justru tertampar dengan keikhlasan seorang tambal ban dalam menafkahi keluarganya. Tentu saja itu adalah sebuah kewajiban beliau. Namun jika saja beliau memilih untuk tidur di rumah, tentu adalah hal yang mungkin mengingat usia beliau tidak lagi muda serta kemampuan tubuh beliau. Tapi kenyataannya, beliau memilih bekerja. Beliau memilih untuk berjuang dibandingkan hanya duduk diam di rumah sambil minum secangkir kopi menunggu hari berganti.
Lalu, jika yang serba kekurangan saja bisa begitu ikhlas menjalankan kewajiban, mengapa diri ini yang diberi kemudahan dengan kesempurnaan fisik masih saja suka mengeluh?

Tidak ada komentar :

 
Header Background Designed by Freepik